Search

kapitaselekta
RSS

Jurnalisme Investigasi

Pelajaran dari Jurnalisme Investigasi

Nezar Patria

Pengantar

Penyamaran, kamera tersembunyi, identitas palsu dan sumber-sumber anonim, dengan syarat-syarat tertentu, telah menjadi perangkat pekerjaan investigasi bagi para jurnalis. Tentu, saya kira dalam batas-batas tertentu, hal sama boleh juga digunakan para aktivis yang bekerja untuk kepentingan publik.

Jurnalis investigasi mendapatkan informasi dengan melakukan wawancara, mencari dan mengkaji dokumen serta mengecek langsung ke lapangan (observasi). Teknik ini sebenarnya lazim dipakai oleh para investigator. Tentu, berbeda dengan para intelijen negara yang punya mandat melakukan penyelidikan secara tertutup, para jurnalis tak bisa memakai semua teknik intelijen itu (misalnya yang melanggar hukum dan etika). Tetapi, kecuali yang outlaw, teknik lainnya kerap dipakai dalam pekerjaan investigasi para jurnalis. Inti dari teknik itu adalah pelacakan sumber: “orang” dan “dokumen”.

Ciri Jurnalisme Investigasi

Farid Gaban, mantan Redaktur Pelaksana Rubrik Investigasi Majalah Tempo pernah menyebut, reportase investigasi (investigative reporting) merupakan sebuah bentuk jurnalisme tingkat lanjut (advanced journalism). Hal ini mengandaikan setiap jurnalis sebelumnya sudah paham dan akrab dengan jurnalistik tingkat dasar.[1]

Menurut Sheila S Coronel, Direktur Philippines Center of Investigative Journalism (PCIJ), definisi jurnalisme investigasi begitu banyak. Ia sendiri lebih suka mendefinisikan jurnalisme investigasi sebagai jurnalisme yang “marah”. Tapi terlepas dari keberagaman definisi itu, Sheila sendiri melihat ada beberapa ciri khusus yang selalu melekat dalam liputan ini.[2]

Pertama, jurnalisme atau reportase investigasi adalah membongkar suatu fakta kejahatan yang coba ditutupi dari publik. Sebab fakta yang coba disembunyikan biasanya salah. Karena itu, karya jurnalisme investigasi selalu orisinil, baru, dan menyangkut kepentingan publik secara luas. Dengan demikian reportase investigasi merupakan implementasi paling depan bagi pers sebagai ‘anjing penjaga’ (watch dog) masyarakat. Yang siap menggongong dan menyalak jika mengendus setiap kejahatan dan kebusukan yang coba disembunyikan dari hidung masyarakat. Karena itu pula jurnalisme investigasi merupakan pengukuhan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.

Kedua, karya jurnalisme investigasi umumnya merupakan laporan yang mendalam, karena dibangun dari hasil riset dan reportase yang panjang. Reportase investigasi memang terkadang memakan waktu lama. Harian The Washington Post misalnya. Mereka harus melakukan investigasi selama dua tahun lebih guna menuliskan 300-an artikel untuk subyek yang sama: Watergate.

Ketiga, liputan investigasi selalu mencari bukti tertulis dengan menggunakan metode pelacakan dokumen (paper trail). Liputan ini juga memiliki ciri wawancara orang-orang yang terlibat (human trail) secara ekstensif dan intensif. Selain itu, metode pelacakan elektronik (e-trail) terkadang juga menonjol dalam peliputan investigasi.

Keempat, reporter investigasi tak jarang menggunakan cara-cara polisi untuk membongkar kejahatan. Misalnya menggunakan metode penyamaran, memakai kamera dan alat rekam tersembunyi, serta memata-matai. Tujuannya jelas: membongkar informasi jahat yang merugikan masyarakat yang selama ini dirahasiakan dari publik. Sasarannya bisa pejabat pemerintah atau pengusaha.

Kelima, liputan investigasi terkadang menimbulkan dampak, biasa disebut sebagai journalism with an impact. Dampak itu bisa berupa perbaikan sistem, atau mundurnya seorang pejabat karena terlibat dalam skandal yang diselidiki. Mundurnya Presiden Amerika Serikat Richard M Nixon pada tahun 1974 dan impeachment Presiden Filipina Joseph Estrada tahun 2001 bisa disebut sebagai dampak reportase investigasi. Di Indonesia, turunnya Presdien Abdurrahman Wahid, tersandungnya Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung juga akibat tekanan dari liputan invesstigasi kasus penyelewengan dana Bulog, atau skandal Buloggate.

Dengan dampak liputan seperti ini, tak mengherankan ketika Bob Woodward dan Carl Bernstein berhasil membongkar skandal Watergate, publik Amerika pada pertengahan tahun 1970-an menyebut para reporter investigasi sebagai ‘pahlawan baru.’

Mengendus, Dari Luar ke Dalam

Ide awal investigasi bermula dari sebuah petunjuk. Petunjuk awal bisa datang dari mana saja. Bisa dari gosip, iklan media massa, atau berita-berita singkat terbaru (breaking news) dan berita-berita lokal yang tak didalami.[3]

Dalam prakteknya kemudian, kerja investigasi itu sendiri dibedakan dalam dua tahap.

Tahap pertama adalah apa yang disebut Robert W Greene dari Newsday, New York, pemenang Pulitzer, sebagai mengendus. Pengendusan ini untuk menentukan apakah petunjuk awal itu memang bernilai berita tinggi untuk ditindaklanjuti. Pengecekan awal ini biasanya memakan waktu satu-dua hari. Bila dianggap bernilai, maka petunjuk ini diteruskan ke tahap berikutnya yang lebih serius, yakni menyusun kerangka kerja investigasi.[4]

Salah satu contohnya adalah pada saat Philippines Center of Invetigastive Journalism (PCIJ) mengendus korupsi Presiden Filipina yang populer, Joseph P Estrada, pada tahun 2000 lalu. Awalnya, mereka mendapat kabar burung tentang wanita simpanan Estrada yang tengah membangun rumah mewah. Informasi ini berasal dari warga yang berdomisili di kawasan itu. Warga itu merasa terganggu dengan pekerjaan pembuatan rumah baru Estrada.

Para jurnalis yang tergabung dalam PCIJ juga mendapat kabar burung lain. Mereka mendengar Estrada sejak jadi Presiden selalu meminta komisi untuk dirinya pribadi pada setiap penguasaha yang mendapat kontrak dari pemerintah. Gosip lainnya mengabarkan wanita simpanan Estrada turut terlibat dalam bisnis gelap tersebut.

Dengan petunjuk awal itu, PCIJ kemudian membuat hipotesis alias dugaan awal. Hipotesis PCIJ: Sejak terpilih tahun 1988, Estrada telah bertambah kaya dan membangun sejumlah rumah mewah yang tidak dilaporkan pada saat ia menyerahkan data kekayaannya pada negara.

Ketika sebuah hipotesis sudah terbentuk, para reporter –seperti halnya ilmuwan—lalu mendesain cara kerja untuk membuktikan kebenaran dugaan awal tadi. Namun demikian, para reporter harus berpikir terbuka. Mereka juga harus membuka ruang bahwa dugaan awal itu bisa salah.

Dalam melakukan penyelidikan atas hipotesa itu, setiap reporter harus berlaku seperti ilmuwan. Tujuan repoter dan ilmuwan yang utama adalah mencari kebenaran. Bukan mencari pembenaran. Tak ada seorang pun reporter bagus yang bisa membuang bukti hanya karena bukti itu bertentangan dengan asumsi awalnya. Karena itu pikiran terbuka adalah prasyarat bagi reporter investigasi.

Kembali ke contoh hipotesa PCIJ. Setelah merasa layak informasi awal itu ditindaklanjuti, PCIJ lalu merumuskan bagaimana cara mereka melacak kebenaran dugaan awal itu. Termasuk membuat rincian kasar biaya investigasi.

Para jurnalis muda PCIJ itu lalu sepakat menggunakan tiga model penjejakan. Yakni melalui penjejakan dokumen (paper trail) untuk mencari bukti dokumen pendukung, penjejakan narasumber (human trail) guna mewawancarai sejumlah orang yang tahu masalah itu, dan akhirnya melakukan riset melalui penjejakan elektronik (electronic trail). Sesudah ketiga penelusuran itu selesai, mereka baru melakukan konfirmasi pada sasaran.

Metode PCIJ ini mirip dengan metode investigasi Robert Caro yakni “bekerja dari luar ke dalam”.

Bila digambarkan, metode Caro ini akan berbentuk empat lingkaran. Lingkaran terluar disebut sumber sekunder (isu, kliping berita, dll). Lingkaran lebih dalam disebut dokumen primer. Kemudian, di lingkaran lebih yang dalam lagi adalah pelacakan siapa saja yang terlibat dan menjadi saksi mata. Dan lingkaran terakhir atau lingkaran terdalam, adalah orang atau sasaran tersebut yang disebut sebagai pusat investigasi.

  • Melacak dokumen (paper trail)

Gosip atau kliping surat kabar lama amat berguna menuntun ke penemuan dokumen-dokumen utama penunjang investigasi. Misalnya, melalui isu wanita simpanan yang tengah membangun rumah mewah, PCIJ kemudian melacak dokumen laporan kekayaan Estrada ke negara mengenai jumlah aset yang ia miliki. Pelaporan aset pribadi merupakan salah satu syarat bagi siapa pun sebelum maju sebagai calon presiden.

Di Indonesia, kewajiban serupa juga dikenakan pada para pejabat, sejak dari Gubernur, anggota DPR/MPR, sampai Presiden. Pasal 5 ayat (3) UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mewajibkan pejabat negara melaporkan kekayaan baik sebelum maupun sesudah menjabat. Seluruh data kekayaan mereka dulu tersimpan di Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Setelah KPKPN dibubarkan, data itu sekarang menjadi tanggungjawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dokumen pendukung lainnya yang dilacak PCIJ adalah kepemilikan saham Estrada di perusahaan-perusahaan swasta.

Untuk konteks Indonesia, semua pembentukan perusahaan swasta harus dicatat notaris. Dan setiap notaris wajib menembuskan pencatatan perusahaan yang mencantumkan komposisi kepemilikan saham serta nama pemiliknya itu ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk diregistrasi dan diumumkan sebagai dokumen negara. Adalah lebih mudah menjejak dokumen kepemilikan melalui sumber atau orang dalam pemerintahan, ketimbang menembus melalui perusahaan swasta tersebut. Apalagi jika perusahaan swasta itu belum menjual saham, maka ia berhak menolak siapa pun yang meminta dokumen pembentukan perusahaan tersebut.

Tentu saja seperti juga manusia, dokumen juga bisa berdusta sebab dokumen itu disiapkan oleh manusia. Namun kelebihan dokumen ketimbang manusia, dokumen tak bisa protes atau mengatakan terjadi salah kutip. Kekuatan dokumen yang terutama juga karena narasumber yang paling hebat pun terkadang menyangkal apa yang sudah ia katakan. Keberadaan dokumen ini membuat penyangkalan itu berubah menjadi lelucon.

Melalui penelusuran dokumen kepemilikan saham itu, PCIJ berhasil mendapat bukti Estrada dan keluarganya memiliki saham, termasuk duduk di bangku direksi 66 perusahaan swasta. Kebanyakan perusaahaan itu terdaftar setelah Estrada menjadi Wakil Presiden Filipina.

Setelah menjadi Presiden Filipina, PCIJ menemukan bukti lusinan perusahaan baru lainnya telah didirikan. Dari penelusuran ini PCIJ mendapati fakta, dari 14 perusahaan saja nilai aset perusahaannya saja mencapai 600 juta Peso alias 13 juta dolar AS. Ironisnya pada tahun 1999, Estrada dalam laporan kekayaannya menyatakan nilai kekayaan bersihnya hanya 35,8 juta Peso alias 790.000 dolar AS.

  • Pelacakan Elektronik (E-Trail)

Pelacakan melalui internet juga dilakukan PCIJ saat menelusuri harta Estrada. Dari kliping media dalam bentuk elektronik, mereka memperoleh latar belakang perusahaan-perusahaan yang ada kaitannya dengan Estrada dan keluarganya.

Melalui pelacakan elektronik pula, PCIJ bisa mengerti semua aktivitas keluarga Estrada, termasuk bisnis pribadi serta nama teman-teman dekatnya. Nama-nama itu kelak berguna untuk melakukan wawancara dalam tahap penelusuran narasumber (human trail).

Lewat pelacakan elektronik, PCIJ juga mendapat sejumlah nama pengusaha yang dekat dengan Estrada. Mereka juga mendapat segepok data saat perusahaan-prusahaan ini mempublikasikan aktivitas mereka di media massa.

Pelacakan elektronik ini membantu menjelaskan konteks dan latar belakang dokumen-dokumen primer yang akan dicari atau sudah didapatkan. Selain itu, sudah menjadi sebuah kecenderungan di dunia setiap kantor kementrian kini memiliki situs. Dari situs-situs ini periset PCIJ bisa melacak tentang prosedur dan undang-undang, sehingga si penyelidik mengerti tentang semua proses dan konteks yang ia cari.

Untuk mempelajari bagaimana tips mencari alamat atau nama seseorang di dunia maya, www.searchenginewatch.com cukup membantu untuk mencari sesuatu. Mesin pencari yang terkenal efektif barangkali ada dua, www.google.com dan www.yahoo.com.

Selain itu, situs-situs media massa juga berguna untuk mencari tentang isu, nama orang, atau nama lembaga yang dicari. Terlebih lagi, beberapa media besar menyediakan jasa berlanganan guna mencari rekam jejak melalui data elektronik berita-berita terdahulu. Pusat Informasi Kompas (PIK) dan Pusat Data Analisa Tempo (PDAT) adalah contohnya. Namun meski obyektif dan kredibel, info dari surat kabar pun tetap harus diverifikasi.

Penjejakan elektronik kadang kala bisa menjadi petujuk awal. Sebngai contoh, adalah terbongkarnya skandal pembelian 100 tank Scorpion pada masa Soeharto. Ceritanya dimulai ketika seorang redaktur desk luar negeri harian Merdeka merasa pusing karena hari itu, Jumat, 8 Desember 2004, tidak ada berita luar negeri yang menonjol. Padahal jam rapat untuk mengajukan budgeting atau daftar rencana berita yang akan dimuat di koran besok, sudah dekat.

Akhirnya, iseng-iseng dia mengetik kata “Indonesia” di www.googlenews.com. Di mesin pencari itu muncul sejumlah berita, termasuk satu breaking news dari The Guardian, tengah meminta dokumen persidangan gugatan seorang broker senjata di Singapura di Pengadilan Inggris. Yang menarik, dari berita itu disebut-sebut anak perempuan tertua Soeharto, yakni Siti Hardianti Rukmana, menerima suap ratusan milyar dari perusahaan senjata Inggris pada saat transaksi itu terjadi.

Sadar berita itu belum pernah dimuat di media cetak maupun media internet berbahasa Indonesia, ia segara mengajukan usul itu ke rapat redaksi. Rapat redaksi langsung menyetujui berita itu dijadikan head line pada harian itu edisi Kamis, 9 Desember 2005, dengan tambahan konfirmasi dari dalam negeri[5].

Berita itu turun terlebih dahulu dari media internet dan semua media cetak nasional berbahasa Indonesia. Sebab, kantor berita AFP belum menurunkan. Kantor berita AFP baru menurunkan berita itu setelah koran itu terbit, Kamis, sekitar pukul 11.00 WIB.

Untungnya lagi, reporter desk luar negeri yang ditugaskan memantau perkembangan persidangan di The Guardian, hari itu mendapat info baru. The Guardian berhasil memperoleh dokumen persidangan dan sebagian dokumen itu langsung di-scan di situs harian Inggris itu.

Maka, hari berikutnya, Jumat 10 Desember 2005, berita tentang skandal Scorpion di harian Merdeka turun nyaris satu halaman penuh di halaman muka dengan lima item berita berupa kesaksian direktur Alvis PLC, kronologi, grafis, dan konfirmasi dari dalam negeri. Sementara, harian The Guardian sendiri belum sempat melakukan konfirmasi dengan sumber-sumber di Indonesia.

Pada hari Jumat itu, tidak ada satu pun media cetak yang memuat skandal ini. Baru pada pukul 11.00 WIB, kantor berita AFP menurunkan skandal ini. Lantas pada pukul 13.10 WIB, situs tempointeraktif mulai ikut menurunkan pemberitaan tentang skandal tersebut. Situs ini menjadi media kedua setelah Merdeka yang mengekspos skandal itu. [6]

Setelah skandal itu mencuat, Departemen Pertahanan mengkonfirmasi kebenaran berita itu termasuk orang-orang yang terlibat. Dan pada hari ketiga, Sabtu, 11 Maret 2005, media nasional berbahasa Indonesia baru mulai berlomba-lomba menurunkan berita itu. Skandal itu kemudian jadi isu nasional dan mendorong Menteri Pertahanan mengeluarkan peraturan baru untuk meniadakan jasa broker dalam pembelian alat persenjataan utama.

Jadi, siapa bilang pelacakan elektronik tidak penting

  • Pelacakan Narasumber (Human Trail)

Reporter investigasi –seperti umumnya para jurnalis— mendapat informasi tak hanya melalui dokumen, tetapi yang terutama dari kesaksian orang-orang.

Narasumber yang sempurna mestinya adalah seorang yang memiliki dokumen penting dan tak menolak untuk dikutip keterangan dan identitasnya oleh si reporter. Tapi narasumber seperti ini amat langka. Lebih sering pengungkapan informasi itu didapat dari wawancara jurnalis itu pada banyak pihak. Untuk itu, paling tidak ada enam narasumber utama yang mesti menjadi prioritas utama pelacakan.

Pertama, orang dalam yang bernyanyi (whistleblower) alias pembisik. Si whistleblower adalah karyawan, mantan karyawan, atau anggota dari sebuah organisasi yang melaporkan tindakan melanggar hukum yang terjadi di dalam lembaga atau organisasinya.

Salah satu contoh whistleblower terkenal adalah Daniel Ellsberg, mantan seorang analis Departemen Pertahanan AS, yang membocorkan kajian ilmiah lembaganya. Dokumen itu dikenal sebagai Dokumen Pentagon alias ‘Pentagon Papers’. Dokumen rahasia itu diberikan Ellsberg pada tahun 1971 ke Neil Sheehan, wartawan harian The New York Times. Kajian rahasia berjudul “Sejarah Proses Pengambilan Keputusan AS untuk Kebijakan Vietnam” ini terdiri dari 47 buku, 7.000 lembar halaman, dan 1,5 juta kata. [7]

Di Indonesia, Rahardi Ramelan bisa dikategorikan whistleblower majalah Tempo dalam skandal Buloggate II. Dalam skandal kasus pencurian uang negara sebesar Rp 40 milyar yang melibatkan Ketua Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung itu, Akbar sempat ditahan di sel Kejaksaan Agung dan divonis bersalah di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Namun di Mahkamah Agung yang saat itu tengah diguncang kasus suap dalam kasus Probostudejo, mantan Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung justru dibebaskan, meski sempat terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) antara Hakim Agung. Ironisnya, Rahardi Ramelan, sang whistleblower dalam skandal Buloggate II ini, oleh pengadilan yang korup, kini yang dianggap bertanggungjawab atas penggelapan dana Bulog itu. Sekarang, Rahardi meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Pengalaman wartawan Tempo Metta Dharmasaputra juga menarik untuk dijadikan contoh bagaimana peran sang whistleblower mampu mengungkap kasus manipulasi pajak PT Asia Agri. Suatu hari di bulan November 2006, seseorang menelepon redaksi Tempo dan menawarkan wawancara dengan Vincentius A Sutanto, pembobol PT Asian Agri sebesar US$ 3,1 juta.

Vincent, saat itu, adalah seorang buronan, dan bersembunyi di Singapura. Wartawan Metta berhasil mengontaknya lewat internet, dan menemui lelaki yang sedang ketakutan itu di Singapura. Dari mulut Vincent malah mengalir informasi sangat berharga, tentang dugaan manipulasi pajak Asian Agri. Akibat pat gulipat dokumen pajak yang terjadi sepanjang 2002-2005 itu, negara ditaksir rugi sebesar Rp 1,1 triliun.

Tempo lalu memburu data lebih lanjut, dan sang whistleblower memberi beberapa petunjuk. Sejumlah data juga menunjukkan adanya indikasi kuat pencucian uang melalui transfer dana hasil manipulasi pajak ke sejumlah negara: Singapura, Hong Kong, Mauritius, Makao, dan British Virgin Islands (Tempo, 15 Januari 2007). Skandal itu terkuak lebar, dan menjadi kasus penggelapan pajak terbesar yang terungkap di republik ini.

Selain whistleblower, reporter investigasi bisa menggunakan sumber kategori kedua, yaitu para musuh (enemies) untuk mendapat informasi. Seorang musuh kerap kali menjadi sumber terbaik. Apalagi bila si reporter mencoba menelusuri semua kelakuan buruk target penyelidikan. Tak jarang para musuh ini dengan senang hati menunjukkan ke siapa-siapa saja pertanyaan penyelidikan itu seharusnya diajukan. Karena itu dalam banyak kasus, mereka menjadi akrab dengan si reporter.

Ketiga, teman-teman target penyelidikan (friends). Jangan kaget, teman-teman si target investigasi terkadang berlaku tak ubahnya seperti para musuh. Dalam upaya melindungi citra sahabatnya, tak jarang mereka malah membuka info baru ke si reporter, baik itu berupa nama maupun detil situasi sulit yang dihadapi sahabatnya. Informasi ini dapat membuat pengetahuan dan wawasan si reporter jadi bertambah ketimbang sebelumnya.

Keempat, mereka yang kalah (losers). Seperti juga para musuh, mereka yang pernah dikalahkan sang target investigasi umumnya banyak menyimpan informasi penting. Untuk melacak keberadaan para musuh, lihatlah hasil pemilu terakhir, perusahan-perusahaan yang kalah dalam sebuah tender proyek, atau pesaing yang kalah dalam pemilihan jabatan direktur. Semakin buruk mereka kalah, semakin banyak info yang bisa digali. Narasumber anonim ‘Deep Throat’ yang digunakan harian The Washington Post dalam menguak skandal Watergate, termasuk ke dalam kategori ini.

Reporter investigasi asal Swedia, Christer Larrson, punya kiat tersendiri untuk menjaring bekas pejabat sakit hati karena dipecat. Cara Christer untuk mendekati mereka biasanya dimulai dengan menelepon orang yang dipecat itu seraya memberitahu bahwa dirinya tengah membuat sebuah laporan dan ia membutuhkan masukan dari orang ini guna menyempurnakan laporannya. Dengan awal seperti ini, biasanya Christer bisa mendapat info lebih jauh.[8]

Jenis narasumber kelima yang perlu mendapat prioritas adalah para korban (victims). Jika seorang reporter tengah menyelidiki kegagalan sistem, sebutlah sistem pemberian bantuan rumah ke korban Tsunami Aceh, amat penting mewawancarai para korban. Mereka dapat memberi contoh-contoh kongkrit penyelewengan secara khusus, termasuk juga memberi ilustrasi lelucon pahit dari penderitaannya. Sejarah kehidupan nyata mereka dapat menolong si reporter dalam menulis cerita.

Keenam, para ahli (experts). Dalam tahap penyelidikan awal, terkadang banyak reporter tak mengerti banyak istilah teknis dalam suatu dokumen. Atau, konteks masalah dari dokumen yang mereka dapat. Karena itu si reporter terkadang membutuhkan seorang ahli untuk menjelaskan. Misalnya aturan main penawaran dan penentuan pemenang dalam proses tender, istilah-istilah teknis dalam kontrak kerja, atau mekanisme bagaimana pencemaran lingkungan terjadi. Untuk itu, akuntan, teknisi, profesor, dan pengacara dapat menjelaskan istilah teknis dalam tata buku, pembangunan gedung, pencemaran lingkungan, bahkan alur tender yang rumit. Jika menolak dikutip untuk sebuah kasus, keterangannya tetap berguna untuk membimbing si reporter agar tidak terjadi salah tafsir atau salah membuat konteks peristiwa (misleading).[9]

Selain itu, yang juga penting diselidiki adalah para tetangga atau bekas tetangga si target penyelidikan. Jack Tolbin, reporter investigasi dari Sports Illustrated, menggunakan buku telepon guna melacak tetangga sebelum mengunjungi mereka. “Tetangga yang usil dapat menjadi sumber informasi yang bermutu,” ujarnya.[10]

Para tetangga ini juga berperan penting ketika PCIJ mengalami kesulitan saat mencoba melacak rumah-rumah mewah milik Estrada. Sebab, kebanyakan surat ijin mendirikan bangunan, surat kepemilikan tanah, dan lain-lain, tak memunculkan nama Estrada atau nama salah satu keluarganya.

Di sinilah mereka kemudian mulai melacak keterangan dari orang-orang seperti arsitek, kontraktor, termasuk para tetangga. Menurut keterangan salah satu tetangga, rumah mewah yang tengah diselidiki PCIJ memang milik wanita simpanan Estrada. Buktinya, beberapa tetangga sempat melihat Estrada meninjau ke rumah mewah itu. Bahkan seorang tetangga mengaku sempat didatangi seorang calo yang mewakili Estrada untuk menawarkan membeli rumahnya karena kebetulan letaknya persis bersebelahan dengan rumah wanita simpanan Estrada[11].

Dalam tahap melacak narasumber ini, pada akhirnya seorang reporter investigasi harus melihat aspek kepentingan narasumber yang mereka dapatkan guna menjaga obyektifitas, dan membedakan antara fakta dan opini.

Sebab, para musuh dan mereka yang kalah punya kepentingan untuk menjatuhkan lawan dan pesaing berat mereka. Para sahabat punya kepentingan guna membela temannya dengan cara mencoba memperlihatkan kompleksitas situasi. Mereka yang jadi korban berkepentingan agar mereka mendapat simpati. Sedang para ahli berkepentingan menjelaskan sebuah istilah teknis atau konteks peristiwa sesuai keahliannya. Mengecek kredibilitas, kelayakan, akuntabilitas, dan hubungan kekerabatan narasumber jadi faktor penentu di sini.

Maka agar lebih aman, sebaiknya informasi dari para musuh, sahabat, maupun pihak yang kalah harus bisa diverifikasi oleh dua narasumber independen. Ini merupakan prosedur standar yang digunakan redaksi The Washington Post saat menelusuri skandal Watergate.

Dalam melakukan pelacakan narasumber penting, terkadang seorang reporter harus melindungi identitas mereka. Untuk menjaga identitas narasumber penting ini, tak jarang seorang reporter harus rela masuk penjara. Kasus terakhir yang berkaitan dengan perahasiaan identitas narasumber, telah menimpa Judith Miller, wartawan The New York Times. Judith Miller harus menjalani hukuman penjara selama 85 hari karena menolak memberitahu siapa nama sumber di Gedung Putih yang membuka informasi bahwa istri seorang mantan pejabat diplomatik yang kritis terhadap kebijakan Gedung Putih dalam invasi Irak, adalah agen CIA.

Meski dalam pekerjaan menggali informasi seorang reporter investigasi banyak menemukan narasumber yang meminta identitasnya disembunyikan, sebaiknya jangan cepat-cepat diterima. Sebaiknya reporter meyakinkan terlebih dahulu ke narasumber agar mereka bersedia namanya dikutip dan tidak disamarkan. Sebab, keterangan sumber tentang latar belakang peristiwa (background), terkadang sesat atau sengaja disesatkan. Terkecuali bila identitas narasumber dibuka keselamatan jiwa si narasumber akan terancam, kemungkinan memberi predikat anonimitas masih bisa dipahami. Tapi pemberian anonimitas pada narasumber secara sembarangan sulit dimengerti, dan bakal menurunkan mutu investigasi. Apalagi masyarakat tak tahu, apakah narasumber itu ada atau diada-adakan oleh reporter. Jarak antara fakta dan rekaan dari pemberian yang bersumber pada narasumber anonim, memang hanya setipis rambut.

Karena itulah ada pameo bijak di dunia pers yang menyatakan, berita tanpa penyebutan identitas narasumber hanya akan berdampak merosotnya kredibilitas media itu. Baik di depan para pembaca, editor, bahkan juga rekan-rekan seprofesi si jurnalis tersebut.

*


[1] Farid Gaban, Investigative Reporting makalah dalam diskusi terbatas di AJI tahun 2003, tidak dipublikasikan.

[2] Sheila S Coronel, Investigative Techniques, makalah kursus investigasi (tidak dipublikasikan), Juni 2003, Malaysia.

[3] Sheila S Coronel, Investigative Techniques, makalah kursus Investigative Reporting, di Malaysia, 18-21 Juli 2003 (tidak dipublikasikan).

[4] The Missouri Gorup (1988), News Reporting and Writing, St Martin Press Inc, New York, hlm. 396.

[5] Harian Merdeka, Kamis, 9 Desember 2005.

[6] Lihat Bina Bektiati, Suap 16,5 Juta Poundsterling dalam Pembelian Tank Scorpion oleh Indonesia, Jum'at, 10 Desember 2004 | 13:10 WIB, ARCHIVE: www.tempointeraktif.com, 31/10/2005; 13.00.

[7] Neil Sheehan (1971), The Pentagon Papers, The Secret History of The Vietnam War, Bantam Books Inc, New York.

[8] Transkrip presetansi Christer Larrson dalam “Training Investigative Reporting” yang diselengarakan Aceh Media Center dan AJI di Medan, 6-8 Mei 2005

[9] The Missouri Gorup, op.cit, hlm 402,

[10] Steve Weinberg (1996), The Reporter Handbook, An Investigator Guide to Document and Techniques, St Martin Press, Inc., New York, hlm. 70.

[11] Sheila S Coronel, Investigating A President, makalah kursus Investigative Reporting, di Malaysia, 18-21 Juli 2003 (tidak dipublikasikan).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar