Search

kapitaselekta
RSS

KEBEBASAN MEDIA (PRESS) PASCA ORDE BARU

Dosen: Bpk Junaidi (Wartawan Jakarta Post)

Tanggal: 24 Agustus 2010

Sebelumnya negara Indonesia memiliki tiga pilar pemegang kekuasaan dalam pemerintahan yaitu eksekutif (presiden dan wakil presiden), legislatif (MPR dan DPR) dan yudikatif (Mahkamah Agung). Sekarang dikenal pilar keempat yang ikut berpengaruh dalam pemerintahan demokrasi yaitu pers.

Sejarah singkat kebebasan pers.

1. Orde lama (era Soekarno)

Kemerdekaan pers jika kita lihat ke belakang dimana telah melalui trauma-trauma yang dialami oleh pers. Trauma tersebut adalah pembredelan terhadap pernerbitan pers. Sebagai contoh, Harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis pada tahun 1958 dibredel oleh pemerintahan Soekarno, namun sempat timbul lagi setelah Soekarno jatuh tahun 1966.

2. Orde baru (era Soeharto)

Indonesia Raya kembali lagi mengalami pembredelan atas pemberitaannya terkait peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) di Senen, Jakarta…….

Selain itu pers yang mengalami pembredelan pada rezim Soeharto pada tahun 1994 antara lain Tempo, Edior dan Detik terkait pemberitaan mereka mengenai kapal bekas dari Jerman yang tiba-tiba tenggelam.

Karena pembredelan yang dilakukan pemerintah orde baru, banyak wartawan yang melakukan aksi demonstrasi dan membentuk suatu aliansi yang dinamakan Aliansi Jurnalis Independen dimana mulai dari sinilah cikal bakal protes terhadap pemerintahan Soeharto berawal hingga akhirnya terjadi peristiwa 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 orang mahasiswa Trisakti yang terkena tembakan aparat.

Post Soeharto (1998- …….)

Setelah jatuhnya Soeharto, tangkup kepemimpinan dipegang oleh B.J. Habibie

Perubahan yang terjadi adalah

- Dicabutnya ijin/SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)

- Puluhan/ratusan Koran dan majalah mulai terbit namun tetap diseleksi oleh pemerintah sehingga beberapa masih bertahan. Terbit juga berbagai majalah/tabloid seksualitas seperti Lampu Merah, Bom, dan lain-lain.

Era Soekarno/Soeharto: press vs negara

Terkenal istilah “Budaya Telpon” yaitu suatu budaya dimana Dirjen / Menteri Penerangan pada masa itu akan menelepon ke perusahaan pers yang bersangkutan jika ada berita jelek tentang pemerintah agar jangan disebarluaskan/diberitakan.

Pasca Soeharto: Press vs Kelompok Masyarakat

Yaitu kekerasan atau terror terhadap jurnalis atau media.

Kekerasan dan terror

- Era orde Baru

Muhammad Syafrudin, wartawan Harian Bernas Yogya yang meninggal setelah dianiaya oleh orang tak dikenal pada bulan Agustus 1996. Udin diduga dibunuh karena tulisannya yang kritis terhadap pemerintah/pejabat militer.

- Era reformasi

Bom Molotov dilempar oleh orang tak dikenal pada Juli 2010

Pembunuhan wartawan Radar Bali pada 16 Februari 2009

Wartawan SUNTv, (RCTI group) tewas dikeroyok massa pada 21 agustus 2010.

Kekerasan terhadap jurnalis:

2004: 2 kasus

2005: 43 kasus

2006: 53 kasus

2007: 75 kasus

2008: 59 kasus

Sekarang pers bebas bisa mengkritik pemerintah, sepedas apapun pemerintah tidak akan menutup pers tersebut, hanya wartawan yang terkait yang akan diadili atas pemberitaannya.

Lawan kebebasan pers diluar dirinya

- Era soekarno/soeharto

Negara (state) vs press

- Post soeharto

Kendala-kendala:

1. Kelompok masyarakat vs press

2. Pemilik media vs jurnalis/freedom of press

3. Pemodal

Contoh: TV One tidak akan memberitakan yang jelek tentang Bakrie (kasus Lapindo)

4. Pemasang iklan, kalau diberitakan yang jelek maka tidak mau pasang iklan lagi (diputus).

Kode etik jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. (idnugrohokej.blogspot.com)

Contoh : seorang wartawan yang tidak mengikuti kode etik jurnalistik telah mengklaim seseorang adalah makelar kasus tanpa ada bukti yang kuat akhirnya dilaporkan ke polri dan terbukti tidak bersalah dan dapat diakhiri dengan jalan damai. Contoh kasus ini mengenai tidak ada cek dan ricek wartawan atas kebenaran suatu berita.

Infotainment

Apakah termasuk tayangan factual atau nonfactual?? Hal ini masih menjadi pro dan kontra. Ada beberapa pihak yang mengatakan infotainment adalah tayangan nonfactual sehingga seharusnya dilakukan penyensoran seperti pada sinetron-sinetron, namun ada pula yang mengatakan bahwa tayangan ini factual karena meliput fakta-fakta yang memang benar terjadi tetapi tidak mematuhi kode etik.


Refleksi penulis:

Peranan press dalam Negara demokrasi sangat penting dan merupakan jembatan aspirasi masyarakat dengan pemerintah. Press pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto tidak memiliki kebebasan dalam mengungkapkan suatu kebenaran. Hal ini tentunya dapat kita lihat dengan banyaknya press yang dibredel karena pemberitaan-pemberitaan mereka. Namun press sekarang ini telah memperoleh kemerdekaannya kembali, sehingga mereka bebas memberitakan apa pun sejauh itu benar dan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Musuh press sekarang ini bukan lagi Negara melainkan kelompok-kelompok masyarakat (ormas-ormas) yang mengatasnamakan kepentingan tertentu.

Seperti yang telah kita ketahui banyak wartawan yang mendapatkan perlakuan buruk, serangan, terror atau kekerasan-kekerasan lain oleh anggota-anggota ormas tertentu karena pemberitaan yang telah dimuatnya di media. Menurut saya hal ini sangatlah tidak manusiawi mengingat press hanya menjalankan tugasnya dalam mencari dan mengungkapkan suatu kebenaran berita. Pemerintah seharusnya mengambil jalan tegas untuk menanggulangi hal-hal semacam ini. Karena apabila didiamkan maka akan membatasi kemerdekaan berpendapat dan berekpresi para wartawan.

Memang juga tak dapat dipungkiri peranan pemilik modal sangat besar pengaruhnya terhadap media atau press seperti yang telah dikemukakan diatas sehingga media atau press memiliki keterbatasan dalam memberitakan hal-hal sekitar pemilik modal, seperti halnya TV One yang tidak akan memberitakan hal-hal buruk mengenai Bakrie terkait kasus lumpur Lapindo, dan lain-lain. Namun kembali lagi kepada Kode Etik Jurnalistik, para wartawan diharapkan mampu menghasilkan liputan berita yang benar, adil dan berimbang. Jadi meskipun tidak memberitakan hal-hal yang buruk tentang pemilik modal, hendaknya berita yang dihasilkan pun sesuai dengan fakta yang ada. Bukan dilebih-lebihkan.




oleh:

Yoretta Yang Wahyudi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar