Search

kapitaselekta
RSS

IKLAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK




Dosen: Endah Murwani

Tanggal : Senin, 25 Oktober 2010



Iklan WRP dan L-Men keduanya adalah iklan yang bertujuan untuk mengubah pandangan masyarakat bahwa susu tidak membuat gemuk

melainkan membuat sehat dan menjadikan badan ideal. Kedua iklan ini mencoba membentuk realitas baru dimana dulu susu hanya dikonsumsi oleh anak-anak dan membuat badan gemuk, tetapi sekarang tidak lagi seperti itu.



IKLAN ADA DIMANA-MANA

§ Iklan ada dimana-mana, seakan mengikuti kemana saja kita pergi sepanjang hari. Di rumah, jalanan pasar, kantor, kampus, sekolah, stasiun, halte bus, bandara.

§ Iklan telah mengepung kita dari berbagai penjuru dan sepanjang waktu, sehingga memungkinkan kita untuk mampu menembus hampir semua celah kehidupan setiap orang.

§ Pengolah iklan seolah tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.



Iklan di Indonesia lebih memiliki kata-kata yang banyak dibandingkan dengan iklan luar negeri. Karena budaya orang Indonesia yang harus dijelaskan secara terperinci agar mereka mau dan percaya akan produk yang diiklankan.

Iklan Ponds mencoba membentuk realitas kulit putih merona. Kata-kata “hanya dalam 7 hari……” sebenarnya tidak diperbolehkan oleh BPOM, namun Ponds mengakalinya dengan menggunakan kata “….nampak putih berseri…”. Dan itu diperbolehkan.



PERGESERAN FUNGSI IKLAN

§ Iklan tidak hanya sekedar bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli suatu produk. Akan tetapi lebih dari itu, iklan turut berpengaruh dalam membentuk system nilai, gaya hidup maupun selera budaya tertentu.

§ Iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari produk yang harus dijualnya, tetapi mencoba membuat berguna sesuatu dan ciri produk tersebut mempunyai arti sesuatu bagi kita.



Bukan Hanya Sekedar Mewakili Produknya Tetapi Ada Arti Tertentu Bagi Kita

§ Dalam konteks inilah iklan mendefinisikan image tentang arti tertentu yang diperoleh ketika orang menggunakan produk tersebut.

§ Proses ini oleh Williamson (1978:20) disebut sebagai Using Product is Currency, yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai uang untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli, contoh: susu bermanfaat bagi anak bayi, selain manfaatnya kita juga membeli pertumbuhan, kecerdasan dan lain-lain.

§ Pollay membagi fungsi komunikasi iklan menjadi 2:

1. Fungsi informasional, iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk.

2. Fungsi transformasional, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses dan sebagainya.



Iklan Dalam Pemikiran Ilmuwan Sosial: Konteks

§ Baudrillard : iklan adalah bagian dari sebuah fenomena sosial bernama consumer society. Objek dalam iklan tidaklah berdiri sendiri melainkan dibentuk oleh sebuah system tanda (sign system).

§ Analisis Baudrillard berkontribusi dalam mengembangkan analisis mengenai produksi dan reproduksi pesan yang melibatkan peran dari citra (image) pada masyarakat kontemporer.

§ Barthes : menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang ahli linguistik.

§ Barthes : tertarik untuk membongkar makna dari pesan-pesan yang disampaikan lewat image maupun teks dalam media fenomena sosial lainnya. Makna ini dibongkar dengan terlebih dahulu menganalisa tanda-tanda yang merepresentasikan makna, dengan menggunakan semiotic sebagai kerangka analisa, Barthes menyumbangkan pemikiran mengenai peran media dalam reproduksi pesan-pesan ideologis.



Iklan itu membentuk suatu hyper realitas, realitas yang melebih-lebihkan.

Beda Baudrillard dengan Barthes adalah, Baudrillard bagaimana iklan menggambarkan suatu citra, sedangkan Barthes r, tanda-tanda dalam iklan dianalisis dengan semiotik.



Bagaimana para ilmuwan memahami iklan?

§ Baudrillard : iklan dibentuk dari sign system yang mengatur makna dari objek / komoditas. Iklan juga dipandang sebagai perangkat ideologis dari kapitalisme konsumen (consumer capitalism).

§ Barthes : iklan juga dilihat sebagai signs yang mengatur makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan. Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat senetral mungkin, proses signifikasi (pembuatan tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai myth (mitosnya seperti apa, contoh maskulin seperti apa? Putih seperti apa).



Bagaimana iklan memproduksi pesan?

§ Baudrillard : iklan sebagai wacana yang dikodekan (coded discourse) dan melekat pada sebuah produk tidak memiliki hubungan dengan realitas (hyperreal).

§ Barthes : menganggap bahwa tanda masih bisa merepresentasikan system realitas (signifikasi tingkat I / denotasi). Sedangkan pada signifikasi tingkat kedua (konotasi), tanda bisa merepresentasikan sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat situasi cultural/sosial yang sama.

§ Sementara sebagai sebuah myth, signs dalam iklan dianggap merepresentasikan pesan ideologis dari si pembuat iklan (dalam konteks ini adalah kaum borjuis).



Bagaimana pesan diterima khalayak?

§ Baudrillard menegaskan bahwa melalui kode-kode dalam sebuah pesan manusia sadar akan dirinya dan kebutuhan-kebutuhannya. Kode tersebut secara hirarkis memiliki tingkatan yang digunakan untuk menandakan perbedaan-perbedaan (distinction) dari status dan kelas .

Contoh : mobil espas, dapat kita jadikan lelucon dari eksekutif pas-pasan, namun sekarang sudah tidak lagi banyak yang menggunakan espas melainkan lebih memilih Avanza, bahkan BMW untuk menunjukkan status sosial lebih tinggi.

§ Barthes berpendapat bahwa iklan memiliki berbagai makna sesuai dengan tingkat signifikasi yang dilakukan oleh khalayak. Dengan demikian makna dari pesan yang disampaikan oleh iklan menjadi sangat majemuk.



Memahami iklan dengan konsep kekerasan simbolik Bourdieu

§ Bagi Bourdieu, seluruh tingkatan pedagogis (tindakan) baik itu yang diselenggarakan di rumah, sekolah, modia atau dimanapun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan system nilai atas pelaku lainnya, sebuah kekasaan yang berakar pada relasi kuasa antara kelas-kelas dan atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.

Contoh: tanpa sadar kita menerima apa yang dikatakan oleh orang tua, guru, teman dan bahkan media (iklan).

§ Diasumsikan bahwa media dan iklan merupakan sarana yang digunakan untuk melakukan tindakan pedagogis dari kelas/kelompok sosial tertentu.

§ Arena iklan tidak hanya menjadi ajang konsentrasi image simbolik produk yang ingin dipasarkan namun juga image simbolik realitas sosial secara luas.

§ Iklan menjadi sebuah mesin kekerasan simbolik yang bisa menciptakan system kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu sesuai kepentingan kelas/kelompok dominan.

§ Image-image simbolik yang diproduksi iklan seperti misalnya kebohongan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern pada dasarnya merupakan system nilai yang dimiliki kelas satu atau kelompok dominan yang diedukasi dan ditanamkan pada suatu kelompok masyarakat tertentu.

§ Proses penanaman nilai melalui iklan dapat membentuk habitus tentang system nilai tersebut. Sehingga iklan tidak hanya menciptakan subjek yang dapat meregulasi diri terkait konsumsi produk namun juga subjek yang dapat merugalasi diri terkait klasifikasi dunia social, disini kemudian terjadilah kekerasan simbolik.

§ Image-image yang diproduksi iklan adalah tindakan pedagogis yang dapat memaksakan secara halus nilai-nilai, standar-standar dan selera kebudayaan kepada masyarakat atau sekurang-kurangnya memantapkan preferensi kebudayaan mereka sebagai standar dari apa yang dianggap tertinggi, terbaik dan paling abash. Dominasi kelas terjadi tatkala pengetahuan, gaya hidup selera, penilain, estetika dan tata cara social dari kelas yang dominan menjadi abash dan dominan secara social.



Refleksi diri:


Televisi dikatakan banyak kalangan sebagai media komunikasi yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan social karena kemampuan audiovisual yang ada pada televisi adalah kekuatan yang luar biasa jika dibandingkan dengan media komunikasi yang lainnya. Sehingga manakala iklan menggunakan televisi sebagai etalase dan jendela untuk menjual produk industri, maka semua kemampuan televisi dieksploitasi untuk kepentingan kapitalis. Dan tanpa disadari iklan dan televise telah menjadi media yang paling besar andilnya terhadap globalisasi.


Dapat kita lihat fenomena – fenomena sosial yang ada saat ini, mulai dari berubahnya gaya berpakaian dan perilaku anak-anak muda (remaja) sampai dewasa yang diadopsi dari berbagai film berbudaya barat, munculnya fenomena Blackberry di kalangan mahasiswa, fenomena terbentuknya selebritas dadakan di bidang keartisan melalui acara “Indonesian Idol” di RCTI, dan berubahnya pemikiran masyarakat tentang arti dari wanita cantik adalah wanita yang memiliki kulit putih, rambut hitam panjang dan langsing sebagai akibat dari seringnya menonton iklan sabun pemutih maupun iklan shampo, fenomena kekerasan dalam masyarakat sebagai akibat dari media massa dan fenomena-fenomena lainnya.



Iklan-iklan mengenai kecantikan dan kejantanan seperti yang ditunjukan oleh produk susu WRP dan L-men membentuk pola pikir baru dalam masyarakat. dimana secara tanpa kita sadari kita mengasumsikan bahwa tubuh ideal bagi pria dan wanita adalah yang seperti ditayangkan dalam iklan tersebut. Dan tentunya lewat iklan - iklan ini terdapat kekerasan simbolik dimana masyarakat menerima secara pasif pesan apa yang disampaikan melalui iklan seperti halnya dapa teori komunikasi jarum suntik (jarum Hypodermik). Materi ini sedikit banyak terkait dengan materi sebelumnya yaitu Media dan Gender.




oleh:

Yoretta Yang Wahyudi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar